Haram bagi masing-masing pihak untuk menceritakan kepada orang lain
tentang hubungan intim yang berlangsung di antara mereka. Karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan:
شَرُّ النَّاسِ
مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِي إِلَى
الْمَرْأَةِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Manusia yang
paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah
seorang suami berhubungan badan dengan istrinya dan istrinya berhubungan
dengannya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya. ” (HR. Muslim no.
1437)
Siapa yang berbuat demikian, ia serupa dengan setan laki dan
setan perempuan yang berhubungan di jalanan dan ditonton oleh
orang-orang, sebagaimana disebutkan dalam hadits Asma’ bintu Yazid
radhiyallahu ‘anha, “Aku sedang berada di sisi Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sementara para lelaki dan wanita tengah duduk-duduk.
Beliau pun bersabda:
لَعَلَّ رَجُلاً يَقُوْلُ مَا يَفْعَلُ بِأَهْلِهِ
وَلَعَلَّ امْرَأَةً تُخْبِرُ بِمَا فَعَلَتْ مَعَ زَوْجِهَا. فَأَرَمَّ
الْقَوْمُ فَقُلْتُ: أَيْ، وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّهُنَّ
لَيَفْعَلْنَ وَإِنَّهُمْ ليَفْعَلُوْنَ. قَالَ: فَلاَ تَفْعَلُوا
فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ شَيْطَانٍ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيْقٍ
فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ
“Mungkin ada seorang lelaki
menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya dan mungkin ada
seorang wanita mengabarkan apa yang dilakukannya bersama suaminya. ”
Orang-orang yang hadir terdiam. Maka aku menjawab, “Iya, demi Allah,
wahai Rasulullah. Mereka para wanita melakukannya dan para lelaki pun
melakukannya. ” Rasulullah memberi bimbingan, “Jangan kalian lakukan hal
tersebut, karena permisalannya tidak lain seperti setan jantan bertemu
setan betina di satu jalan lalu ia menggaulinya sementara orang-orang
menontonnya. ” (HR. Ahmad 6/456, dan dalam sanadnya ada Syahr ibnu
Hausyab dan tentang dirinya ada pembicaraan. Namun hadits ini terangkat
menjadi hasan dengan syawahid [penguat]nya)
• Suami berhak melarang
istrinya keluar rumahnya tanpa ada kebutuhan darurat. Ia tidak boleh
membiarkan istrinya pergi sesukanya. Haram pula bagi istri keluar rumah
tanpa izin suaminya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
berkata, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah suaminya
kecuali dengan izin suaminya. ” Beliau menegaskan, “Bila sampai istri
keluar dari rumah suaminya tanpa izin si suami berarti ia telah berbuat
nusyuz, bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya hingga
ia pantas mendapatkan hukuman. ” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/281)
• Tidak
sepantasnya suami melarang mertuanya (ayah dan ibu dari istrinya) untuk
menziarahi (mengunjungi) istrinya (putri keduanya) di rumahnya, kecuali
bila ia mengkhawatirkan keduanya akan merusak hubungannya dengan
istrinya atau meracuni pikiran istrinya.
• Suami berhak melarang
istrinya bekerja, karena suamilah yang bertanggung jawab memberikan
nafkah kepada istrinya. Disamping itu, bila si istri bekerja akan
melalaikannya dari menunaikan sebagian hak suaminya, menelantarkan
pendidikan anak-anaknya, memperhadapkan si istri kepada penyimpangan
akhlak, khususnya di zaman ini di mana rasa malu semakin sedikit dan
penyeru kepada kejelekan semakin banyak. Banyaklah didapati para wanita
bercampur baur dengan lelaki di kantor-kantor dan lapangan pekerjaan
yang lain. Tidak jarang pula terjadi khalwat (bersepi-sepi/berduaan)
yang diharamkan.
• Istri tidak boleh menaati kedua orangtuanya bila
keduanya memintanya berpisah dengan suaminya. Tidak boleh pula menuruti
permintaan keduanya bila menyuruhnya mengunjungi keduanya sementara
suaminya tidak ridha. Bahkan taat kepada suami lebih dikedepankan,
karena suami ibaratnya surga dan neraka bagi si istri. Bibi Hushain bin
Mihshan radhiyallahu ‘anhu pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:
أَذَاتُ
زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قاَلَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قاَلَتْ: مَا
آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ
مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau punya
suami?” Ia menjawab, “Iya. ” Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lagi, “Bagaimana yang engkau lakukan terhadap suamimu?” Ia
menjawab, “Aku tidak pernah mengurang-ngurangi dalam menaatinya dan
berkhidmat padanya, kecuali dalam perkara yang memang aku tidak mampu. ”
Rasulullah memberi nasihat, “Perhatikanlah di mana keberadaanmu dalam
pergaulanmu dengan suamimu, karena dia adalah surgamu dan nerakamu. ”
(HR. Ahmad 4/341, An-Nasa’i no. 8962, Al-Hakim 2/206, ia berkata,
“Sanadnya shahih,” dan disepakati Adz-Dzahabi rahimahullahu. Sanadnya
memang shahih, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu, lihat Adabuz Zifaf,
hal. 214 dan Ash-Shahihah no. 2612)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Nukilan dari Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Kitabun Nikah, bab Fi ‘Isyratun Nisa’, 2/307-312, dengan beberapa perubahan dan tambahan)
1 Suami bersumpah tidak ingin menggauli istrinya selama-lamanya atau lebih dari empat bulan.
2 Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya:
لِلَّذِينَ
يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا
فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ. وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللهَ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Kepada para suami yang meng-ilaa’ istri mereka
diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika setelah itu mereka
kembali (menggauli istri mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun
lagi Maha penyayang. Dan jika mereka berketetapan hati untuk talak maka
sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. ” (Al-Baqarah:
226-227)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar