Jumat, 03 Mei 2013

Mu'asyaroh baina azzaujain

Haram bagi masing-masing pihak untuk menceritakan kepada orang lain tentang hubungan intim yang berlangsung di antara mereka. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan:
شَرُّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِي إِلَى الْمَرْأَةِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah seorang suami berhubungan badan dengan istrinya dan istrinya berhubungan dengannya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya. ” (HR. Muslim no. 1437)
Siapa yang berbuat demikian, ia serupa dengan setan laki dan setan perempuan yang berhubungan di jalanan dan ditonton oleh orang-orang, sebagaimana disebutkan dalam hadits Asma’ bintu Yazid radhiyallahu ‘anha, “Aku sedang berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara para lelaki dan wanita tengah duduk-duduk. Beliau pun bersabda:
لَعَلَّ رَجُلاً يَقُوْلُ مَا يَفْعَلُ بِأَهْلِهِ وَلَعَلَّ امْرَأَةً تُخْبِرُ بِمَا فَعَلَتْ مَعَ زَوْجِهَا. فَأَرَمَّ الْقَوْمُ فَقُلْتُ: أَيْ، وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّهُنَّ لَيَفْعَلْنَ وَإِنَّهُمْ ليَفْعَلُوْنَ. قَالَ: فَلاَ تَفْعَلُوا فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ شَيْطَانٍ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيْقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ
“Mungkin ada seorang lelaki menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya dan mungkin ada seorang wanita mengabarkan apa yang dilakukannya bersama suaminya. ” Orang-orang yang hadir terdiam. Maka aku menjawab, “Iya, demi Allah, wahai Rasulullah. Mereka para wanita melakukannya dan para lelaki pun melakukannya. ” Rasulullah memberi bimbingan, “Jangan kalian lakukan hal tersebut, karena permisalannya tidak lain seperti setan jantan bertemu setan betina di satu jalan lalu ia menggaulinya sementara orang-orang menontonnya. ” (HR. Ahmad 6/456, dan dalam sanadnya ada Syahr ibnu Hausyab dan tentang dirinya ada pembicaraan. Namun hadits ini terangkat menjadi hasan dengan syawahid [penguat]nya)
• Suami berhak melarang istrinya keluar rumahnya tanpa ada kebutuhan darurat. Ia tidak boleh membiarkan istrinya pergi sesukanya. Haram pula bagi istri keluar rumah tanpa izin suaminya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya. ” Beliau menegaskan, “Bila sampai istri keluar dari rumah suaminya tanpa izin si suami berarti ia telah berbuat nusyuz, bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya hingga ia pantas mendapatkan hukuman. ” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/281)
• Tidak sepantasnya suami melarang mertuanya (ayah dan ibu dari istrinya) untuk menziarahi (mengunjungi) istrinya (putri keduanya) di rumahnya, kecuali bila ia mengkhawatirkan keduanya akan merusak hubungannya dengan istrinya atau meracuni pikiran istrinya.
• Suami berhak melarang istrinya bekerja, karena suamilah yang bertanggung jawab memberikan nafkah kepada istrinya. Disamping itu, bila si istri bekerja akan melalaikannya dari menunaikan sebagian hak suaminya, menelantarkan pendidikan anak-anaknya, memperhadapkan si istri kepada penyimpangan akhlak, khususnya di zaman ini di mana rasa malu semakin sedikit dan penyeru kepada kejelekan semakin banyak. Banyaklah didapati para wanita bercampur baur dengan lelaki di kantor-kantor dan lapangan pekerjaan yang lain. Tidak jarang pula terjadi khalwat (bersepi-sepi/berduaan) yang diharamkan.
• Istri tidak boleh menaati kedua orangtuanya bila keduanya memintanya berpisah dengan suaminya. Tidak boleh pula menuruti permintaan keduanya bila menyuruhnya mengunjungi keduanya sementara suaminya tidak ridha. Bahkan taat kepada suami lebih dikedepankan, karena suami ibaratnya surga dan neraka bagi si istri. Bibi Hushain bin Mihshan radhiyallahu ‘anhu pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قاَلَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قاَلَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau punya suami?” Ia menjawab, “Iya. ” Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi, “Bagaimana yang engkau lakukan terhadap suamimu?” Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurang-ngurangi dalam menaatinya dan berkhidmat padanya, kecuali dalam perkara yang memang aku tidak mampu. ” Rasulullah memberi nasihat, “Perhatikanlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena dia adalah surgamu dan nerakamu. ” (HR. Ahmad 4/341, An-Nasa’i no. 8962, Al-Hakim 2/206, ia berkata, “Sanadnya shahih,” dan disepakati Adz-Dzahabi rahimahullahu. Sanadnya memang shahih, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu, lihat Adabuz Zifaf, hal. 214 dan Ash-Shahihah no. 2612)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Nukilan dari Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Kitabun Nikah, bab Fi ‘Isyratun Nisa’, 2/307-312, dengan beberapa perubahan dan tambahan) 1 Suami bersumpah tidak ingin menggauli istrinya selama-lamanya atau lebih dari empat bulan.
2 Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya:
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ. وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Kepada para suami yang meng-ilaa’ istri mereka diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika setelah itu mereka kembali (menggauli istri mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang. Dan jika mereka berketetapan hati untuk talak maka sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. ” (Al-Baqarah: 226-227)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar