Selasa, 07 Mei 2013

Kisah ulama Indonesia pertahankan makam Nabi yang hendak digusur



Kisah ulama Indonesia pertahankan makam Nabi yang hendak digusur


Makam Nabi. Pada tahun 1924-1925, Arab Saudi dipimpin oleh Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi. Aliran ini sangat dominan di tanah Haram, sehingga aliran lain tidak diberi ruang dan gerak untuk mengerjakan mazhabnya.

Semasa kepemimpinan Ibnu Saud, terjadi eksodus besar-besaran ulama dari seluruh dunia. Mereka kembali ke negara masing-masing, termasuk para pelajar Indonesia yang sedang mencari ilmu di Arab Saudi.

Aliran Wahabi yang terkenal puritan, berupaya menjaga kemurnian agara dari musyrik dan bid'ah. Maka beberapa tempat bersejarah, seperti rumah Nabi Muhammad SAW dan sahabat, termasuk makam Nabi Muhammad pun hendak dibongkar.

Umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa sangat perihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Hijaz.

Komite Hijaz ini merupakan sebuah kepanitiaan kecil yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Setelah berdiri, Komite Hijaz menemui Raja Ibnu Suud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan, seperti meminta Hijaz memberikan kebebasan kepada umat Islam di Arab untuk melakukan ibadah sesuai dengan madzhab yang mereka anut.

Karena untuk mengirim utusan ini diperlukan adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Saud.

Adapun lima permohonan yang disampaikan oleh Komite Hijaz, seperti ditulis di situs www.nu.or.id tersebut adalah:

Pertama, memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum'at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang tasawuf, aqidah maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal kebenarannya.

Kedua, memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut diwaqafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Khaezuran dan lain-lainnya berdasarkan firman Allah "Hanyalah orang yang meramaikan Masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah" dan firman Nya "Dan siapa yang lebih aniaya dari pada orang yang menghalang-halangi orang lain untuk menyebut nama Allah dalam masjidnya dan berusaha untuk merobohkannya."

Ketiga, memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji menganai tarif/ketentuan beaya yang harus diserahkan oleh jamaah haji kepada syaikh dan muthowwif dari mulai Jedah sampai pulang lagi ke Jedah. Dengan demikian orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup buat pulang-perginya dan agar supaya mereka tidak dimintai lagi lebih dari ketentuan pemerintah.

Keempat, memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.

Kelima, Jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU) memohon balasan surat dari Yang Mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Yang Mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada kedua delegasi tersebut.

Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Komite Hijaz yang merupakan respons terhadap perkembangan dunia internasional ini menjadi faktor terpenting didirikannya oeganisasi NU. Berkat kegigihan para kiai yang tergabung dalam Komite Hijaz, aspirasi dari umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah diterima oleh raja Ibnu Saud. Makam Nabi Muhammad yang akan dibongkar pun tidak jadi dihancurkan.

Sabtu, 04 Mei 2013

Seorang Pemuda yang jarang bershalawat bermimpi bertemu Rasulullah


Ada seorang pemuda yang mimpi bertemu Sayyidina Muhammad SAW, dan Rasul tidak menoleh serta tak mengiraukan terhadapnya. Kemudian si pemuda tersebut bertanya pada Sayyidina Muhammad SAW, “Wahai Rasulullah apakah engkau marah?”
Rasul SAW menjawab, “Tidak…”
Kemudian pemuda tersebut bertanya lagi pada Sayyidina Muhammad SAW, “Kenapa engkau tidak menoleh kepadaku Wahai Rasulullah?”
Rasul menjawab, “Karena aku tidak mengenalmu”.
Kemudian pemuda tersebut berkata, “Bagaimana engkau tidak mengenalku ya Rasulullah, sedang aku adalah ummatmu?” (Ulama mengatakan berdasarkan hadits, bahwa Rasulullah SAW lebih mengenal ummatnya daripada seorang ibu mengenal anaknya.)
Rasulullah SAW menjawab, “Karena engkau tidak pernah bershalawat kepadaku.”
Beliau berkata kembali, “Bahwasanya kadar pengenalanku kepada ummatku itu tergantung dari banyaknya dia bershalawat kepadaku.”
Pemuda itu lalu terbangun dari tidurnya dengan keadaan sedih. Mulai hari itu ia senantiasa memperbanyak bacaan shalawat kepada Nabi SAW.
Tak berapa lama kemudian, ia bermimpi bertemu Rasulullah SAW kembali. Di dalam mimpi itu ia bertanya apakah kini Rasul sudah mengenali dirinya.
Rasulullah SAW lantas menjawab seraya tersenyum, “Sekarang aku telah mengenalmu, bahkan mencintaimu. Itu dikarenakan oleh banyaknya bacaan shalawatmu kepadaku.”

Dinar emas dan Dirham perak




  • Dinar (denar di Makedonia) adalah nama mata uang yang berlaku di beberapa negara di dunia, kebanyakan di negara-negara dengan mayoritas penduduk berbahasa Arab. Kata "dinar" (دينار dalam bahasa Arab dan Persia) berasal dari kata denarius, mata uang Romawi.
  • Dinar Indonesia (isi sebelumnya: '{{hapus:kelayakan}} Dinar Indonesia merupakan koin emas dengan berat 4,25 gram berkadar 22 Karat sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Khalifah Umar ibn Khattab. Saat ini Koin Dinar dikeluarkan oleh Antam dan Peruri. Komunitas ...')
Dinar emas berdasarkan Hukum Syari’ah Islam adalah koin emas yang memiliki kadar 22 karat emas (917) dengan berat 4,25 gram, sedangkan Dirham perak Islam memiliki kadar perak murni dengan berat 3 gram,[1][2] atau lebih tepatnya 2,975 gram.[3]
Khalifah Umar ibn Khattab menentukan standar antar keduanya berdasarkan beratnya masing-masing: "1 dinar harus setara dengan 15 dirham."
Wahyu menyatakan mengenai Dinar Dirham dan banyak sekali hukum hukum yang terkait dengannya seperti zakat, pernikahan, hudud dan lain sebagainya. Sehingga dalam Wahyu Dinar Dirham memiliki tingkat realita dan ukuran tertentu sebagai standar pernghitungan (untuk Zakat dan lain sebagainya) dimana sebuah keputusan dapat diukurkan kepadanya dibandingkan dengan alat tukar lainnya.[2]
Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah menyebutkan bahwa terdapat ijma sejak awal Islam dan masa para Sahabat dan Tabi'in bahwa sepuluh dirham syariah sepadan dengan tujuh mitsqal (berat dinar) emas. Berat satu mitsqal emas adalah tujuh puluh dua butir gandum, sehingga tujuh-persepuluhnya adalah lima puluh dua-perlima butir gandum. Semua ukuran ini dengan kokoh ditetapkan oleh ijma.[1]

Sejarah

Muslimin menggunakan emas dan perak berdasarkan beratnya dan Dinar Dirham yang digunakan merupakan cetakan dari bangsa Persia.
Koin awal yang digunakan oleh Muslimin merupakan duplikat dari Dirham perak Yezdigird III dari Sassania, yang dicetak dibawah otoritas Khalifah Utsman radhiyallahu anhu. Yang membedakan dengan koin aslinya adalah adanya tulisan Arab yang berlafazkan “Bismillah”. Sejak saat itu tulisan "Bismillah" dan bagian dari Al Qur’an menjadi suatu hal yang lazim ditemukan pada koin yang dicetak oleh Muslimin. [4][5]
Standar dari koin yang ditentukan oleh Khalifah Umar ibn al-Khattab, berat dari 10 Dirham adalah sama dengan 7 Dinar (1 mithqal). Pada tahun 75 Hijriah (695 Masehi) Khalifah Abdalmalik memerintahkan Al-Hajjaj untuk mencetak Dirham untuk pertama kalinya, dan secara resmi beliau menggunakan standar yang ditentukan oleh Khalifah Umar ibn Khattab. Khalifah Abdalmalik memerintahkan bahwa pada tiap koin yang dicetak terdapat tulisan: "Allahu ahad, Allahush shamad". Beliau juga memerintahkan penghentian cetakan dengan gambar wujud manusia dan binatang dari koin dan menggantinya dengan huruf-huruf.
Perintah ini diteruskan sepanjang sejarah Islam. Dinar dan Dirham biasanya berbentuk bundar, dan tulisan yang dicetak diatasnya memiliki tata letak yang melingkar. Lazimnya di satu sisi terdapat kalimat “tahlil” dan “tahmid”, yaitu, “La ilaha ill’Allah” dan “Alhamdulillah” sedangkan pada sisi lainnya terdapat nama Amir dan tanggal pencetakkan; dan pada masa masa selanjutnya menjadi suatu kelaziman juga untuk menuliskan shalawat kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, dan kadang-kadang, ayat-ayat Qur’an.
Koin emas dan perak menjadi mata uang resmi hingga jatuhnya kekhalifahan. Sejak saat itu, lusinan mata uang dari beberapa negara dicetak di setiap negara era paska kolonialisme dimana negara-negara tersebut merupakan pecahan dari Dar al Islam.
Perlu diingat bahwa Hukum Syariah Islam tidak pernah mengizinkan penggunaan surat janji pembayaran menjadi alat tukar yang sah.

Jenis jenis koin Dinar Emas dan Dirham Perak

Koin Dinar dicetak dan di distribusikan oleh beberapa pihak. Design koin dinar emas dan dirham perak berbeda beda sesuai pencetaknya. Beberapa jenis koin dinar yang sudah dicetak saat ini :

Dinar Dubai

Uni Emirat Arab mencetak koin Dinar dengan desain Masjid Nabawi di Madinah dan koin Dirham dengan desain Masjidil Haram di Mekkah

Dinar Kelantan

Kerajaan Kelantan mencetak koin Dinar dengan desain Lambang Kerajaan Kelantan

Dinar Wakala Induk Nusantara

Wakala Induk Nusantara mencetak dan mengedarkan koin Dinar Emas dan Dirham Perak dengan 2 seri, yaitu Seri Haji dan Seri Nusantara. Untuk desain Seri Haji mirip dengan Dinar yang dicetak di Dubai Uni Emirat Arab

Dinar Logam Mulia

PP Logam Mulia mencetak koin Dinar dan Dirham dengan desain Masjidil Haram di Mekkah

Dinar 24 Karat

PP Logam Mulia juga mencetak koin Dinar dengan kadar 24 karat dengan Desain hanya tulisan

Syekh Malik bin Dinar Bertaubat

  Tentang pertaubatan Malik bin Dinar, kisahnya adalah sebagai berikut. Ia adalah seorang lelaki yang sangat tampan, gemar bersenang-senang dan memiliki harta kekayaan yang berlimpah-limpah. Malik tinggal di Damaskus di mana golongan Mu'awwiyah telah membangun sebuah masjid yang besar dan mewah. Malik ingin sekali diangkat sebagai pengurus masjid tersebut. Maka pergilah ia ke masjid itu. Di pojok ruangan masjid itu dibentangkannya sajadahnya dan di situlah ia selama setahun terus-menerus melakukan ibadah sambil berharap agar setiap orang akan melihatnya sedang melakukan shalat. "Alangkah munafiknya engkau ini", ia selalu berkata kepada dirinya sendiri.
Setahun telah berlalu. Apabila hari telah malam, Malik keluar dari masjid itu dan pergi bersenang-senang.
Pada suatu malam ketika ia sedang asyik menikmati musik di kala semua teman-temannya telah tertidur, tiba-tiba dari kecapi yang sedang dimainkannya terdengar sebuah suara: "Malik, mengapakah engkau belum juga bertaubat?". Mendengar kata-kata yang sangat menggentarkan hati ini, Malik segera melemparkan kecapinya dan berlari ke masjid.
"Selama setahun penuh aku telah menyembah Allah secara munafiq", ia berkata kepada dirinya sendiri. "Bukankah lebih baik jika aku menyembah Allah dengan sepenuh hati? Aku malu. Apakah yang harus kulakukan? Seandainya orang-orang hendak mengangkatku sebagai pengurus masjid, aku tidak akan mau menerimanya". Ia bertekad dan berkhusyuk kepada Allah. Pada malam itulah untuk pertama kalinya shalat dengan sepenuh keikhlasan.
Keesokan harinya, seperti biasa, orang-orang berkumpul di depan masjid. "Hai, lihatlah dinding masjid telah retak-retak", mereka berseru. "Kita harus mengangkat seorang pengawas untuk memperbaiki masjid ini". Maka mereka bersepakat bahwa yang paling tepat menjadi pengawas masjid itu adalah Malik. Segera mereka mendatangi Malik yang ketika itu sedang shalat. Dengan sabar mereka menunggu Malik menyelesaikan shalatnya.
"Kami datang untuk memintamu agar sudi menerima pengangkatan kami ini", mereka berkata.
"Ya Allah", seru Malik, "setahun penuh aku menyembah-Mu secara munafik dan tak seorang pun yang memandang diriku. Kini setelah diberikan jiwaku kepada-Mu dan bertekad bahwa aku tidak menginginkan pengangkatan atas diriku, Engkau menyuruh dua puluh orang menghadapku untuk mengalungkan tugas tersebut ke leherku. Demi kebesaran-Mu, aku tidak menginginkan pengangkatan atas diriku ini".
Malik berlari meninggalkan masjid itu kemudian menyibukkan diri beribadah kepada Allah, dan menjalani hidup prihatin serta penuh disiplin. Ia menjadi seorang yang terhormat dan saleh. Ketika seorang hartawan kota Bashrah meninggal dunia dan ia meningglkan seorang puteri yang cantik, si puteri mendatangi Tsabit al-Bunani untuk memohon pertolongan.
"Aku ingin menjadi isteri Malik", katanya, "sehingga ia dapat menolongku di dalam mematuhi perintah-perintah Allah".
Keinginan dara ini disampaikan Tsabit kepada Malik. "Aku telah menjatuhkan thalaq kepada dunia", jawab Malik. "Wanita itu adalah milik dunia yang telah kuthalaq, karena itu aku tidak dapat menikahinya".

SYEKH MALIK BIN DINAR DAN TETANGGANYA YANG UGAL-UGALAN


Ada seorang pemuda tetangga Malik, tingkah lakunya sangat berandal dan mengganggu ketentraman. Malik sering terganggu oleh tingkah laku si pemuda berandal ini, namun dengan sabar ia menunggu agar ada orang lain yang tampil untuk menegur si pemuda tersebut. Tetapi orang-orang datang menghadap Malik dengan keluhan-keluhan mereka terhadap si pemuda. Maka pergilah Malik mendatangi pemuda itu dan meminta agar ia merubah tingkah lakunya.
Dengan bandel dan seenaknya si pemuda menjawab: "Aku adalah kesayangan sultan dan tidak seorang pun dapat melarang atau mencegahku untuk berbuat sekehendak hatiku".
"Aku akan mengadu kepada sultan", Malik mengancam.
"Sultan tidak akan mencela diriku", jawab si pemuda. "Apa pun yang kulakukan, sultan akan menyukainya."
"Baiklah, jika sultan tidak dapat berbuat apa-apa", Malik meneruskan ancamannya, "aku akan mengadu kepada Yang Maha Pengasih", sambil menunjuk ke atas.
"Allah?", jawab si pemuda. "Ia terlampau Pengasih untuk menghukum diriku ini".
Jawaban ini membuat Malik bungkam, tak dapat mengatakan apa-apa. Si pemuda ditinggalkannya. Beberapa hari berlalu dan tingkah si pemuda benar-benar telah melampaui batas. Sekali lagi Malik pergi untuk menegur si pemuda, tetapi di tengah perjalanan Malik mendengar seruan yang ditujukan kepadanya:
"Jangan engkau sentuh sahabat-Ku itu!"
Masih dalam keadaan terkejut dan gemetar Malik menjumpai si pemuda.
Melihat kedatangan Malik, si pemuda menyentak: "Apa pulakah yang telah terjadi sehingga engkau datang ke sini untuk kedua kalinya?"
Malik menjawab: "Kali ini aku datang bukan untuk mencela tingkah lakumu. Aku datang semata-mata untuk menyampaikan kepadamu bahwa aku telah mendengar seruan yang mengatakan...."
Si pemuda berseru: "Wahai! Kalau begitu halnya, maka gedungku ini akan kujadikan sebagai tempat untuk beribadah kepada-Nya. Aku tdak perduli lagi dengan semua harta kekayaanku ini".
Setelah berkata demikian ia pun pergi dan meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya dan memulai pengembaraan di atas dunia ini.
Malik mengisahkan bahwa beberapa lama kemudian di kota Mekkah ia bersua dengan pemuda tersebut dalam keadaan terlunta-lunta menjelang akhir hayatnya.
"Ia adalah Sahabatku" si pemuda berkata dengan terengah-engah. "Aku akan menemui Sahabatku". Setelah berkata demikian ia lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Syekh Malik bin Dinar



  Syekh Malik bin Dinar al-Sami adalah putera seorang budak berbangsa Persia dari Sijistan (Kabul) dan menjadi murid Hasan al-Bashri la terhitung sebagai ahli Hadits Shahih dan merawikan Hadits dari tokoh-tokoh kepercayaan di masa lampau seperti Anas bin Malik dan Ibnu Sirin. Malik bin Dinar adalah seorang kaligrafer al-Qur'an yang terkena. Ia meninggal sekitar tahun 130 H/748 M.
Mengapa ia dinamakan Malik bin Dinar
Ketika Malik dilahirkan, ayahnya adalah seorang budak tetapi Malik adalah seorang yang merdeka. Orang-orang mengisahkan bahwa pada suatu ketika Malik bin Dinar menumpang sebuah perahu. Setelah berada di tengah lautan, awak-awak perahu meminta: "Bayarlah ongkos perjalananmu!".
"Aku tak mempunyai uang",jawab Malik.
Awak-awak perahu memukulinya hingga ia pingsan. Ketika Malik siuman, mereka meminta lagi: "Bayarlah ongkos perjalananmu!".
"Aku tak mempunyai uang", jawab Malik sekali lagi, dan untuk kedua kalinya mereka memukulinya hingga pingsan.
Ketika Malik siuman kembali maka untuk ketiga kalinya mereka mendesak.
"Bayarlah ongkos perjalananmu!".
"Aku tak mempunyai uang".
"Marilah kita pegang kedua kakinya dan kita lemparkan dia ke laut", pelaut-pelaut tersebut berseru.
Saat itu juga semua ikan di laut mendongakkan kepala mereka ke permukaan air dan masing-masing membawa dua keping dinar emas di mulutnya. Malik menjulurkan tangan, dari mulut seekor ikan diambilnya dua dinar dan uang itu diberikannya kepada awak-awak perahu. Melihat kejadian ini pelaut-pelaut tersebut segera berlutut. Dengan berjalan di atas air, Malik kemudian meninggalkan perahu tersebut. Inilah penyebab mengapa ia dinamakan Malik bin Dinar.

 

Kisah Orang Yang Dimaafkan Oleh Allah Karena Dia Memaafkan Hamba-hamba Allah



Ini adalah kisah seorang laki-laki yang tidak mempunyai amal shalih ketika Malaikat maut datang untuk mencabut nyawanya. Dalam urusan dagang, dia memaafkan orang-orang yang bersangkutan dengannya.

Jika dia memberi hutang dan waktu pembayaran telah
tiba, maka dia memberi kesempatan kepada orang yang mampu hingga dia bisa membayar dan memaafkan orang yang dalam kesulitan. Yang dia harapkan dari perbuatannya ini adalah agar Allah memaafkannya. Maka Allah pun memaafkan dan mengampuni dosa-dosanya karena sifat pemaafnya dalam bermuamalah.



NASH HADIS

Bukhari meriwayatkan dari Hudzaefah berkata, 'Aku telah mendengar Rasulullah bersabda, 'Ada seorang laki-laki dari umat sebelum kalian yang didatangi oleh Malaikat maut untuk mencabut nyawanya. Dia ditanya, 'Adakah kebaikan yang kamu lakukan?' Dia menjawab,
'Aku tidak tahu.' Dikatakan kepadanya, 'Lihatlah.' Dia menjawab, 'Aku tidak mengetahui apa pun. Hanya saja, di dunia aku berjual-beli dengan orang-orang dan membalas mereka. Lalu aku memberi kesempatan kepada orang yang mampu dan memaafkan orang yang
kesulitan.' Maka Allah memasukkannya ke Surga."

Dalam riwayat Hudzaefah juga, "Para Malaikat menerima ruh seorang laki-laki dari kalangan umat sebelum kalian. Mereka bertanya, 'Apakah kamu melakukan suatu kebaikan?' Dia menjawab, 'Aku memerintahkan para pegawaiku agar memberi kesempatan kepada orang yang mampu dan memaafkan orang yang tidak mampu.' Maka mereka memaafkannya.''

Dalam riwayat Abu Hurairah dengan lafazh, "Ada seorang saudagar yang memberi hutang kepada orang-orang. Jika dia melihat seseorang dalam kesulitan, dia berkata kepada para pegawainya, 'Maafkanlah dia, mudah-mudahan Allah memaafkan kita.' Maka Allah
memaafkannya."

TAKHRIJ HADIS

Riwayat pertama diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, bab keterangan tentang Bani Israil, 6/494, no. 3451.

Riwayat kedua dalam Shahih Bukhari dalam Kitabul
Buyu’, bab orang yang menangguhkan orang yang mampu, 4/307, no. 2077. Bukhari meriwayatkan pula dari Abu Hurairah dalam Kitabul Buyu’, bab orang yang menangguhkan orang yang tidak mampu.

Riwayat ketiga dalam Shahih dalam Kitabul Buyu’, bab orang yang menangguhkan orang yang tidak mampu, 4/308, no. 2078.

Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dari Hudzaefah, Abu Hurairah dan Abu Mas'ud dalam Kitabul Musaqah, bab keutamaan menangguhkan orang yang tidak mampu, 3/1194, no. 1560-1561.

PENJELASAN HADIS

Allah memberitakan kepada kita bahwa ketika kematian mendatangi seorang hamba dan ajalnya telah tiba, maka Malaikat mendatanginya. Jika dia adalah orang yang beriman, maka Malaikat memberinya berita gembira. Jika dia adalah orang kafir, maka Malaikat bertanya kepadanya, mencelanya, menyiksanya dan menyampaikan berita gembira Neraka. Allah berfirman tentang kematian orang mukmin, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami ialah Allah', kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) Surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu." (QS. Fushshilat: 30)

Allah berfirman tentang orang-orang kafir para pendosa ketika ajal menjemput, "Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya, 'Dalam keadaan bagaimana kamu ini?' Mereka menjawab, 'Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).' Para Malaikat berkata, 'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?' Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An-Nisa: 97)

Dalam hadis ini Rasulullah menyampaikan berita tentang seorang laki-laki dari umat sebelum kita yang didatangi oleh Malaikat maut untuk mencabut nyawanya. Malaikat bertanya kepadanya tentang amal kebaikan yang dilakukannya di dunia. Orang ini tidak menemukan amal kebaikan untuk dirinya. Ketika orang ini menjawab tidak satu pun, maka mereka meminta agar meneliti ulang. Dia tetap tidak menemukan amal kebaikan kecuali hanya perniagaan yang menjadi profesinya. Dia memerintahkan para pegawai yang bekerja padanya supaya menangguhkan orang yang mampu dan memaafkan orang yang tidak mampu. Dia menjelaskan alasannya kepada mereka dan berkata, "Semoga Allah memaafkan kita." Maka Allah memenuhi harapannya, memaafkan dan mengampuninya.

Muamalah seperti yang dicontohkan oleh laki-laki ini merupakan muamalah yang diharapkan oleh Islam. Ia didasarkan kepada kemudahan dalam jual-beli dan kelapangan dalam bermuamalah. Menunggu orang-orang yang mampu dan memaafkan orang-orang yang tidak mampu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah berdoa untuk orang yang bersifat demikian, "Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berlapang dada jika menjual, berlapang dada jika membeli, berlapang dada jika membayar, dan berlapang dada jika menuntut."

PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
  1. Keutamaan memberi tempo kepada orang yang mampu dan memaafkan orang yang tidak mampu. Pelakunya yang ikhlas mendapatkan janji maaf dari Allah pada saat bertemu dengan-Nya.
  2. Luasnya rahmat Allah. Hanya dengan amal yang sedikit, seorang hamba bisa mendapatkan pahala besar. Laki-laki ini diampuni dan dimaafkan oleh Allah hanya dengan amalan yang kecil.
  3. Seorang hamba mukmin tidak dikafirkan hanya karena dia melakukan dosa besar. Laki-laki ini tidak melakukan kebaikan kecuali amal ini. Dia meninggalkan kewajiban-kewajiban, namun Allah mengampuni dan memaafkannya.
  4. Pertanyaan seorang Malaikat kepada seorang hamba ketika ia datang kepadanya untuk mencabut nyawanya, sebagaimana laki-laki ini ditanya dan juga sebagaimana yang Allah sampaikan dalam ayat yang kita nukil dalam bab penjelasan.
  5. Menetapkan kaidah besar dalam urusan sifat Allah. Kaidah ini berkata, 'Setiap kesempurnaan tanpa kekurangan yang ditetapkan untuk makhluk, maka Allah lebih berhak.' Di antaranya adalah memaafkan orang-orang dalam bermuamalah. Allah berfirman, "Kami lebih berhak dengan itu daripada dia, maafkanlah dia." Riwayat ini dalam Shahih Muslim.
  6. Boleh jual-beli secara tunda. Laki-laki dalam hadis ini melakukan hal itu. Dia memberi tempo kepada orang yang mampu dan memaafkan yang tidak mampu.
Sumber:
Riwayat pertama diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, bab keterangan tentang Bani Israil, 6/494, no. 3451.

Riwayat kedua dalam Shahih Bukhari dalam Kitabul
Buyu’, bab orang yang menangguhkan orang yang mampu, 4/307, no. 2077. Bukhari meriwayatkan pula dari Abu Hurairah dalam Kitabul Buyu’, bab orang yang menangguhkan orang yang tidak mampu.

Riwayat ketiga dalam Shahih dalam Kitabul Buyu’, bab orang yang menangguhkan orang yang tidak mampu, 4/308, no. 2078.

Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dari Hudzaefah, Abu Hurairah dan Abu Mas'ud dalam Kitabul Musaqah, bab keutamaan menangguhkan orang yang tidak mampu, 3/1194, no. 1560-1561.