Beliau terkenal sebagai seorang Zahid yang menafikan keduniawian.
Begitu dalam cintanya kepada Allah hingga dijuluki Al-Nury, “Yang Dianugrahi
Cahaya”.
Dalam jagat
sufistik, perjalanan seorang sufi yang berziarah ke berbagai
tempat suci bisa menampilkan berbagai perbuatan menjadi hikmah keronahian
dengan nilai-nilai spritual yang luar biasa. Mereka meninggalkan jejak-jejak
spritual – adakalanya berupa karya tulis yang monumental – yang sampai sekarang
tetap menjadi rujukan para penganut sufi.
Beberapa di antara mereka, misalnya
Syekh Abdul Qadir Jailani, Sarry As-Saqaty, Junaid Al-Bagdadi, Fariduddin
Aththar, Abu Husien Al-Nury, dan sebagainya. Mereka adalah tokoh sufi garda
depan yang hingga kini belum tertandingi ketokohannya. Seorang diantara mereka,
yaitu Abu Husien Al-Nury, punya keistimewaan justru karena mendapat julukan “Al-Nury”,
yaitu “Yang mendapat anugrah cahaya” dari Allah SWT.
Nama lengkapnya adalah Abu Husien
Ahmad bin Muhammad Al-Nury. Ia lahir di Baghdad, Irak, tidak jelas tahun
berapa. Sementara nenek moyangnya berasal dari Khurasan, Iran. Yang pasti ia
adalah salah seorang murid kesayangan Sarry As-Saqaty dan sahabat Sufi besar Junaid Al-Baghdadi. Mereka hidup di Irak pada abad
ke III. Selama hidup ia tinggal di tepian sungai Tigris yang indah.
Ia mendapat julukan “Al-Nury”,
karena kapanpun ia bicara di kegelapan malam, seberkas cahaya akan keluar dari
mulutnya, hingga membuat terang sekelilingnya. Di riwayatkan juga bahwa ia menadpat
julukan itu karena mengungkapkan rahasia-rahasia terdalam dengan cahaya
intuisi, karena sikap dan gaya bicaranya yang bernas dan lembut, sementara
pemikirannya sangat luas, dan konsekwen dengan sikapnya yang teguh.
Versi yang lain mengatakan bahwa ia
dijuluki Nuri karena ia mempunyai sebuah tempat pengasingan ditengah padang
pasir dimana ia biasa beribadah sepanjang malam. Orang-orang kerap keluar rumah
untuk memperhatikannya, dan mereka melihat seberkas cahaya memancar keluar dari
lubang pengasingannya sepanjang malam.
Abul Husain an-Nuri adalah salah
seorang figur terkemuka kelompok sufi Baghdad. Ia menyusun sejumlah puisi
mistis yang mengagumkan. Ia meninggal dunia pada tahun 295 H / 908 M.
Ia mengawali kehidupan mistiknya
dengan sangat unik. Setiap dini hari, sebelum subuh, ia mengambil roti dari
tokonya untuk ia sedekahkan. Setelah salat subuh di masjid, ia kembali ke toko,
orang-orang mengira ia telah sarapan di toko, sementara orang-orang di toko
menyangka ia sudah makan pagi di rumah. Hal itu berlangsung selama 20 tahun
tanpa seorang pun tahu. Kisah kewalian Abu Husien ini banyak diungkapkan dalam
berbagai kitab, seperti Tadzkirul Awliya (Fariduddin Aththar), Ar-Risalah
dan Kasyful Mahjub (Imam Qusyairi).
Tentang kehidupan mistiknya, Abu
Husien menyatakan:
“Bertahun-tahun aku berjuang,
mengekang diri dan meninggalkan pergaulan. Betapapun aku berusaha keras, jalan
belum terbuka bagiku. Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki diri.
Kemudian kataku, “Wahai jasmaniku, bertahun-tahun sudah engkau menuruti hawa
nafsu, sungguh semua itu akan mencelakakanmu. Sekarang masuklah kedalam
penjara. Akan ku belenggu dirimu dan akan kukalungkan pada lehermu semua
kewajiban kepada Allah. Jika sanaggup bertahan, engkau pasti meraih
kebahagiaan. Tapi, jika tak sanggup, setidaknya engkau akan mati di jalan
Allah, begitulah kataku.”
Mengenai perjanan spritualnya, ia
berkata:
“Pernah kudengar, hati para mistikus
merupakan alat yang awas waspada, mengetahui segala rahasia, baik yang terlihat
maupun yang terdengar. Karena tidak memiliki hati seperti itu, akupun berkata
kepada diriku sendiri, “Ucapan para Nabi dan manusia suci adalah benar. Mungkin
sekali selama ini aku telah bersikap munafik, sementara kegagalanku karena
kesalahan ku sendiri. Aku ingin merenungi diriku sendiri sehingga benar-benar
mengenal-Nya”, begitulah kataku.
Setelah merenungi diri sendiri, Abu
Husien menemukan hati dan nafsu itu bersatu. Lalu katanya:
“Bila hati dan nafsu bersatu,
celakalah! Sebab, jika ada sesuatu yang menyinari hati, hawa nafsu akan
menyerap sebagian. Maka sadarlah aku, inilah sumber dilema yang kuhadapi selama
ini. Segala sesuatu yang datang dari hadirat Allah SWT dalam hatiku, sebagian
diserap pula oleh hawa nafsuku.”
Sejak perenungan itulah, ia
menghentikan segala perbuatan yang diperkenankan hawa nafsu. Ia
berusaha hanya melakukan segala sesuatu yang “Tidak diperkenankan” hawa
nafsu. Lalu katanya, “Misalnya, hawa nafsuku berkenan aku berpuasa,
bersedekah, salat, menyepi atau bergaul dengan sahabat-sahabatku, maka aku akan
melakukan hal sebaliknya. Akhirnya segala hal yang diperkenankan hawa
nafsuku dapat kubuang dan rahasia-rahasia mistik mulai terbuka dalam diriku.”
Suatu hari, ia berdialog dengan diri
sendiri. “Siapakah engkau?” tanyanya kepada diri sendiri. “Aku adalah mutiara
tanpa hasrat, dan mutiaraku adalah mutiara tanpa maksud,” terdengar suara
dalam dirinya. Kemudian ia menuju sungai Tigris dan melemparkan jala. “Aku
tidak akan beranjak sebelum seekor ikan terjerat dalam jalaku,” ia bergumam.
Tak lama kemudian, seekor ikan berkecupak di dalam jala. Saat aku mengambil
ikan itu, aku memekik, “Segala puji bagi Allah, urusan-urusanku telah berjalan
dengan baik!”
Aku pergi menemui Junaid dan berkata
padanya, “Sebuah karunia telah dianugrahkan padaku!”
“Abul Hasan,” ujar Junaid, “Jika
seekor ular yang terjerat jalamu, dan bukannya seekor ikan, itu baru suatu
tanda karunia. Namun karena dirimu sendiri terlibat (dalam mendapatkannya), itu
adalah muslihat, bukan karunia. Karena tanda dari karunia adalah engkau tidak
terlibat sama sekali.”
***
Ketika Ghulam al-Khalil menyatakan
permusuhannya terhadap para sufi, ia menemui Khalifah dan menjelek-jelekkan
mereka.
“Sekelompok sufi telah muncul,”
katanya. “Mereka menyanyi, menari dan menyatakan penghinaan-penghinaan terhadap
Tuhan dan agama. Mereka berkumpul hampir setiap hari, bersembunyi dalam
gua-gua, dan berkhotbah. Orang-orang itu adalah ahli bid’ah. Jika Amirul
Mukminin berkenan mengeluarkan perintah untuk menghabisi mereka, maka ajaran
bid’ah akan musnah, karena mereka adalah kepala para ahli bid’ah. Jika Amirul
Mukminin melakukan hal ini, aku jamin anda akan mendapatkan pahala yang besar.”
Sang Khalifah segera memerintahkan
agar mereka – Abu Hamzah, Raqqam, Syibli, Nuri, dan Junaid – dibawa
kehadapannya. Perintah Khalifah pun dilaksanakan. Kemudian Khalifah
memerintahkan agar mereka dihukum mati.
Awalnya, algojo diperintahkan untuk
mengekskusi Raqqam terlebih dahulu, namun Nuri tanpa rasa takut sedikitpun
bangkit mendekat dan mengambil tempat Raqqam.
“Bunuhlah aku lebih dulu, tertawa
gembira,” pekiknya.
“Tuan, giliran anda belum tiba,”
kata si Algojo padanya. “Pedang bukanlah sesuatu yang digunakan dengan
tergesa-gesa.”
Nuri menjelaskan. “Jalanku didasari
oleh pikiran. Aku lebih memilih sahabatku daripada diriku sendiri. Hal yang paling
berharga didunia ini adalah kehidupan. Aku ingin mempersembahkan sedikit
waktuku yang tersisa ini untuk para saudaraku. Aku akan mengorbankan
kehidupanku sendiri. Hal ini kulakukan walaupun dalam pandanganku suatu saat di
dunia ini lebih berharga daripada seribu tahun di akherat kelak. Karena dunia
ini adalah kediaman penghambaan, sementara akherat adalah kediaman kedekatan,
dan kedekatan bagiku adalah penghambaan.”
Kata-kata Nuri ini dilaporkan kepada
Khalifah. Sang Khalifah mengagumi ketulusan dan kefasehan Nuri. Ia
memerintahkan untuk menunda ekskusi dan mengajukan kasus mereka kepada Hakim
untuk diperiksa.
“Mereka tidak dapat dihukum tanpa
bukti,” kata sang Hakim.
Sang Hakim kemudian menguji Nuri
dengan masalah-masalah Fikih. Nuri langsung dapat menjawabnya, dan sang
hakimpun membisu dalam kebingungan.
Nuri berkata:
“Wahai hakim, Anda telah mengajukan
semua pertanyaan ini, namun semua pertanyaan Anda sama sekali tidak relevan.
Karena Allah memiliki hamba-hamba yang berdiri melalui-Nya, bergerak dan diam
melalui-Nya, yang hidup melalui-Nya, dan tinggal dalam dzikir kepada-Nya. Jika
satu saat saja mereka tidak mengingat-Nya, maka jiwa-jiwa mereka akan keluar
dari tubuh mereka. Melalui-Nya mereka tidur, melalui-Nya mereka makan, melalui-Nya
mereka menerima, melalui-Nya mereka pergi, melalui-Nya mereka melihat,
melalui-Nya mereka mendengar, dan melalui-Nya mereka berada. Inilah ilmu yang
hakiki, bukan semua yang anda tanyakan tadi.”
Sang hakim kebingungan, lalu ia
mengirim pesan kepada Khalifah, “Jika mereka ini Atheis dan ahli bid’ah, maka
aku akan memutuskan maka diseluruh permukaan bumi, tidak seorang pun yang
bertauhid.”
Khalifah pun memanggil mereka.
“Adakah yang kalian inginkan?” tanya
Khalifah.
“Ya,” jawab mereka. “Kami harap Anda
melupakan kami. Kami tidak ingin anda menghormati kami dengan persetujuan Anda
(terhadap keyakinan kami) ataupun menghukum kami dengan penolakan Anda. Bagi
kami, penolakan Anda sama saja dengan persetujuan Anda, dan persetujuan Anda
sama saja dengan penolakan Anda.”
Sang Khalifah pun menangis pilu
mendengarnya, dan membebaskan mereka dengan segala penghormatan.
***
Suatu hari Junaid mengunjungi Nuri.
Nuri tersungkur ketanah dihadapan Junaid, mengeluhkan ketidakadilan.
“Pertempuranku bertambah dahsyat,
dan aku tak mempunyai kekuatan lagi untuk bertarung,” katanya. “Selama tiga
puluh tahun, kapanpun Dia ada, aku lenyap, dan kapanpun aku mewujud, Dia
lenyap. Kehadiran-Nya adalah ketidakhadiranku. Betapapun aku memohon,
jawaban-Nya adalah: Aku atau engkau yang ada.”
Junaid berkata kepada para muridnya.
“Lihatlah dia, seorang lelaki yang telah berusaha keras dan dibingungkan oleh
Allah.”
Sambil berpaling ke Nuri, Junaid
menambahkan, “Seharusnya apakah Dia terhijabi olehmu ataupun tersingkap
melaluimu, engkau tidak boleh lagi menjadi dirimu, dan semuanya harus menjadi
Dia.”
***
Seseorang menemui Junaid dan
berkata, “Sudah beberapa hari ini, siang dan malam, Nuri berkeliling dengan
sebongkah batu di tangannya sambil berteriak, “Allah… Allah…” dia tidak makan
apa-apa, dan tidak tidur. Namun dia masih mendirikan shalat pada waktunya dan
menjalankan seluruh ritual shalat.”
Para murid Junaid menanggapi, “Ia
sadar. Ia tidak berada dalam keadaan Fana. Buktinya, ia masih ingat waktu-waktu
shalat dan melakukan ritual-ritual shalat. Itu adalah tanda dari usaha sadar,
bukan tanda dari fana, seseorang yang telah fana, tidak menyadari apapun.”
“Bukan begitu,” jawab Junaid. “Apa
yang kalian katakana tidaklah benar. Orang-orang yang berada dalam ekstasi
selalu terpelihara, Allah menjaga mereka, kalau tidak, mereka akan meninggalkan
ibadah pada waktunya.”
Kemudian Junaid pergi menemui Nuri.
“Anul Husain,” sapa junaid pada
Nuri. “Jika engkau tahu bahwa berteriak adalah salah satu keuntungan
dengan-Nya, maka beri tahukanlah aku, dan akupun akan ikut berteriak. Jika
engkau tahu bahwa kepuasan dengan-Nya adalah lebih baik, maka bertawakkallah,
agar hatimu bisa tenang.”
Sejak saat itu, Nuri berhenti
berteriak. “Engkau benar-benar guru yang hebat bagi kami!” katanya pada Junaid.
***
DALAM kitab Al-Risalah, Imam
Al-Qusyairi mengungkapkan beberapa pendapat Abu Husien. Salah satu pendapatnya
tentang tasawuf, antara lain, “Tasawuf itu meningglkan semua keingnan hawa
nafsu. Ada dua hal yang paling mulia, yaitu orang alim yang mengamalkan
ilmunya, dan orang arif yang mampu memahami hakekat. Jika ada orang yang
mengaku bersama Allah SWT, tapi berani keluar dari batas ilmu agama,
sekali-kali jangan engkau mendekatinya.”
Suatu hari Abu Husien Al-Nury,
berdoa di sebuah tempat yang sangat terpencil. “Ya Allah engkau menghukum
para penghuni neraka, mereka semua adalah ciptaan-Mu, melalui ke-Maha
Tahuan-Mu, kemahakuasaan-Mu, dan kehendak-Mu. Jika engkau menghendaki manusia
ke dalam neraka, engkaulah yang berkuasa untuk melemparkan mereka ke dalam
neraka, dan mengantarkan ke dalam surga.”
Kebetulah seorang
sufi, Ja’far Al-Khuldi, mendengar doa itu, dan ia pun sangat
takjub. Kemudian suatu malam, ia bermimpi bertemu dengan seseorang yang berkata
kepadanya, “Allah memerintahkan agar engkau mengatakan kepada Abu Husien,
sesungguhnya Allah telah memuliakanmu dan menganugerahkan pahala kepadamu
karena doamu.”
Suatu hari, ketika Abu Husien mandi
disebuah telaga, pakaianya di curi orang. Belum sempat ia mentas dari telaga
untuk mengejarnya, pencuri itu telah mengembalikan pakaiannya, karena tiba-tiba
tangannya terkena penyakit sampar. Lalu Abu Husien berseru. “Ya Allah, karena
ia telah mengembalikan pakaianku, sembuhkanlah tangannya,” maka saat itu juga
tangan pencuri itu sembuh.
Orang suci itu wafat pada 295 H /908
M. banyak kenangan dan pujian yang diungkapkan oleh para sahabatnya ataupun
para ulama se zamannya. Salah satunya dari Junaid Al-Baghdadi, katanya, “Sejak
Abu Husien Al-Nury wafat, tidak ada seorangpun yang mampu menceritakan hakikat
kebenaran.” Sedangkan Ahmad Al-Maghazili menyatakan:
“Belum
pernah aku melihat ibadah yang dilakukan lebih khusyuk daripada ibadah Abu
Husien Al-Nury.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar