Beliau adalah seorang Mujahid keturunan Raja
Yogjakarta. Seluruh nafas kehidupannya diabadikan untuk kemerdekaan Tanah Jawa,
dengan bersendikan ajaran agama Islam.
Tegalrejo 29 Juli 1825. di bawah
pimpinan Chevallier pasukan gabungan Belanda dan orang-orang patih Darurejo IV
menyerbu laskar-laskar Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo, sebuah desa
kecil yang terletak di barat laut Keraton Yogjakarta. Dentuman meriam dan bunyi
letupan senapan membahana di seluruh penjuru desa.
Menghadapi serangan itu, kedua
Pangeran bersama laskarnya segera menyingkir ke tempat yang lebih aman. Mereka
menyadari, perang di medan yang amat sempit tidak menguntungkannya. Pangeran
Diponegoro akhirnya memilih tempat yang lebih strategis untuk basis
peperangannya di bukit Selangor, sebuah tempat yang dikelilingi lembah ,
benteng-benteng alam dan Gua, yang biasa dipergunakan bertapa. Tempat itu
terletak 10 Km di sebelah barat daya kota Yogjakarta. Sedangkan keluarganya
diungsikan ke desa Dekso.
Di lain pihak, Chevallier terus
melancarkan serangan dahsyat dengan mengerahkan seluruh pasukan dan
persenjataan yang dimiliki. Alhasil, Chavalier dalam waktu singkat mampu
menguasai Tegalrejo. Sayangnya, Tegalrejo telah kosong melompong. Bakar…. Bakar
saja rumah Diponegoro sampai habis! Seru Chavalier di tengah kemarahan dan
kedongkolan hatinya karena buruannya telah kabur.
Tanpa membuang waktu lagi, tentara
gabungan itu membakar rumah Diponegoro dan puluhan rumah lain di sisi kanan
kirinya. Dari kejauhan, di balik bukit terjal, di atas Kuda Getayu, Pangeran
Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi beserta seluruh anggota laskarnya
menyaksikan dengan sedih pembumihangusan puluhan rumah tersebut.
Sebaliknya berita penyerangan
Belanda ke Tegalrejo cepat menjalar ke seluruh pelosok Yogjakarta dan
Surakarta. Sebagian besar rakyat tanpa dikomando berduyun-duyun datang ke
Selangor lengkap dengan persenjataannya. Dari Surakarta, datang ulama Bayat,
dan laskar-laskar yang di komandoi oleh Kyai Mojo dan Tumenggung
Prawirodigdoyo. Dari kesultanan Yogjakarta, tidak kurang 74 bangsawan akhirnya
menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro di Selangor. Diantara kerumunan
Bangsawan itu, terdapat Sentot Prawirodirjo, seorang Senopati muda yang belum
berusia 18 tahun, putra Raden Ronggo Prawirodirjo III. Seperti halnya sang
ayah, Sentot kemudian tampil sebagai pejuang besar yang sangat di takuti pihak
Belanda.
Propaganda perang melawan bangsa
kafir segara dilakukan di mana-mana, di Yogjakarta, Jayanegara segera membuat
surat edaran untuk seluruh rakyat Mataram. Isinya mengajak berjuang bersama
Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi mengusir kaum penjajah Kafir
Belanda. Di wilayah luar Yogjakarta, seperti Kedu, Banyumas dan sekitarnya,
ajakan jihad fi sabilillah di sampaikan oleh Kyai Kasan Besari yang disambut
rakyat dengan gegap gempita.
Sesuai dengan saran Sinuhun Paku
Buwono VI, laskar-laskar Diponegoro menggunakan taktik dan strategi perang
“Dhedhemitan” alias “Gebag ancat nrabas geblas”. Menyerbu secara tiba-tiba dan
kemudian dengan cepat menghilang dibalik hutan-hutan, Gua, Bukit, atau
kegelapan malam.
Rupanya taktik dan perang anggota
laskar Diponegoro sangat menakutkan pihak Belanda. Tidak mengherankan, bila
pada tahun-tahun pertama pihak Belanda kewalahan dan banyak mengalami
kekalahan.
Kemenangan pertama Pangeran
Diponegoro dan laskarnya didapat di desa Pisangan, perbatasan Muntilan dan
Yogjakarta. Laskar Diponegoro yang dipimpin oleh Mulyo Santiko dengan gagah
berani mencegah iring-iringan pasukan Belanda yang berjumlah sekitar 120 orang
yang berusaha masuk ke Yogjakarta. Mereka berhasil menghancurkan seluruh
pasukan Belanda itu. Uang sebesar 50.000 gulden dapat dirampas berikut
alat-alat perangnya. Kemenangan pertama ini segera di ikuti oleh
kemenangan-kemenangan berikutnya. Pada 6 Agustus 1825, pasukan Diponegoro yang
dipimpin para panglimanya yang gagah berani berhasil menghancurkan markas
Belanda di Pacitan, menyusul kemudian Purwodadi.
Kemenangan demi kemenangan tentu
saja dapat mengobarkan semangat rakyat untuk bersama-sama bangkit melawan Kafir
Belanda. Perangpun makin meluas, dinatarnya sampai ke Banyumas, Pekalongan,
Semarang, Rembang dan Madiun.
Kekalahan beruntun yang dialami
Belanda, memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda segera mengirim Letnan
Jenderal Markus De Kock ke Jawa Tengah sebagai panglima angkatan perang
Belanda. Jenderal De Kock mendapat kekuasaan untuk menjalankan segala tindakan
dalam menangani peperangan.
Jenderal De Kock dengan licik segera
menybarkan politik pecah belah, dan mengadu domba. Ia segera menemui dan
memaksa Sunan Pukubuwono VI, dan Mangkunegoro II, dan Paku Alam I agar bersedia
membantu Belanda. Ia juga mengerahkan bantuan pasukan pribumi itu untuk
menggempur markas pasukan Diponegoro di Selarong. Namun, beruntung gerakan
pasukan gabungan ini sudah dapat di ketahui oleh mata-mata Pangeran Diponegoro.
Semua laskar dan pimpinnanya segera bersembunyi. Akibatnya, ketika pasukan
Belanda menguasai Selarong pada malam hari, mereka hanya menemukan bukit dan
Gua yang sudah kosong. Pasukan Belanda pun mundur dan kembali pulang dengan tangan
hampa.
Tidak beberapa lama tentara Belanda
pulang, malam itu juga Pangeran Diponegoro segera mengadakan pertemuan dengan
para Senopatinya. Mereka membahas untuk segera memindahkan markasnya di
Selarong. Semua sepakat. Desa Deksa yang jaraknya sekitar 23 Km dari Yogjakarta
dijadikan markas baru.
Pertempuran kembali berkobar
diseluruh Mataram. Hasilnya pada Januari 1826 Pangeran Diponegoro berhasil
merebut dan menguasai daerah Imogiri dan Pleret, di susul daerah Lengkong,
Kasuran dan Delangu.
Bagi pihak Belanda, kekalahan
beruntun itu justru membuat Jenderal De Kock makin nekad. Ia mengajukan
permohonan kepada pemerintah pusat Belanda untuk menambah anggaran perang.
Anggaran itu rencananya untuk membuat benteng Stelsel. Tujuannya untuk
mempersempit ruang gerak Pasukan Diponegoro di daearh-daerah yang di kuasai
Belanda. Pelaksanaan benteng Stelsel juga dimaksudkan untuk mengadakan tekanan
kepada Pangeran Diponegoro agar bersedia menghentikan peperangan.
Di wilayah Mataram kemudian muncul
benteng-benteng Belanda yang kukuh, seperti di Bantul, Paluwatu, Pasargede,
Jatinom, dan Delangu. Tidak kurang dari 165 buah benteng telah di dirikan
Belanda untuk mempersempit ruang gerak pasukan Pangeran Diponegoro. Tekanan
dari Belanda ini masih ditambah dengan adanya Bupati-bupati daerah yang memihak
kepada Belanda, sehingga sangat menyulitkan komunikasi laskar Diponegoro antar
daerah. Akibatnya, perlawanan itu menjadi mudah dipatahkan oleh pasukan
Belanda. Pasukan Bulkiyo mulai menghadapi masa-masa sulit.
Di tengah kesulitan itu, Pangeran
Diponegoro mengumpulkan para sesepuh dan Senopati membahas perkembangan dan
situasi di medan perang. Pertemuan itu dilakukan di pesanggrahan Bagelan.
Hasilnya mereka tetap melanjutkan perjuangan sampai kemerdekaan bumi tanah Jawa
tercapai. Akibatnya, tidak sedikit laskar Pengeran Diponegoro yang gugur.
Pangeran Kusumowijoyo yang mengobarkan pertempuran di Keraton Surakarta,
akhirnya gugur di Lembah Kali Serang. Ia kemudian dikenal dengan nama Pangeran
Serang, dan istrinya Raden Ajeng Kusriyah juga gugur di Dekso, Kulon Progo.
Tidak berapa lama kemudian, gugur pula Tumenggung Prawirodigdoyo dari Gagatan.
Ia gugur di medan tempur Klengkong saat memimpin 100 prajuritnya melawan
tentara Belanda yang jumlahnya berlipat-lipat dengan dukungan meriam dan
senjata laras panjang.
Belum lagi hilang rasa duka, kabar
yang mengejutkan menyusul, Gusti Pangeran Notodiningrat bersama istri dan
ibundanya dan tidak kurang dari 200 pengikutnya menyerah kepada Belanda di
Yogjakarta. Dengan keberhasilan Belanda mempengaruhi Pangeran Notodiningrat
Jenderal De Kock semakin gila mendekati pemimpin-pemimpin laskar Pangeran
Diponegoro. Ia menjanjikan kedudukan dan hadiah-hadiah berlimpah bila mau
menyerah dan mendukung Belanda. Satu bulan kemudian, Belanda kembali berhasil
membujuk salah seorang panglima laskar Diponegoro, yaitu Pangeran Arya Papak
dan Tumenggung Ario Sosrodilogo.
Kiai Mojo yang menjadi tulang
punggung kekuatan pasukan perang Pangeran Diponegoro, akhirnya juga menyerah
kepada pasukan Belanda. Menyerahnya Kiai Mojo merupakan pukulan berat bagi
Pangeran Diponegoro dan laskar-laskarnya. Tetapi Pangeran Diponegoro bertekad
untuk tidak menyerah dan tetap mengobarkan perlawanan.
Pada 20 Desember 1828, Laskar
Pangeran Diponegoro segera melancarkan serangan dahsyat terhadap markas Belanda
di Nanggulan. Dalam pertempuran itu Kapten Van Inge tewas, sedang dari pihak
pasukan Diponegoro keilangan Senopatinya yang gagah berani, Pangeran
Prangwedono.
Berita hancurnya benteng Nanggulan,
membuat jenderal De Kock semakin ketakutan, sebab ia selalu melihat sosok
Senopati Sentot sebagai momok yang sangat berbahaya. Karena jenderal De Kock
terus berupaya membujuk Sentot dengan berbagai cara agar mau menyerah. Tapi,
Senopati muda itu tetap menolaknya. Belum berhasil membujuk Sentot, ia berhasil
memperalat dan menekan Pangeran Ario Prawirodiningrat, Bupati Madiun, untuk
menyerah. Sebabnya, jika tidak mau menyerah taruhannya adalah nyawa sepupunya.
Setelah Pangeran Ario
Prawirodiningrat menyerah, menyusul Sentot Prawirodirjo dan Pangeran
Mangkubumi. Menyerahnya dua Pangeran yang gagah berani ini membuat Pangeran
Diponegoro kembali terpukul telak dan membawa beban moral, tidak hanya dalam
dirinya, tetapi juga kepada seluruh prajurit Bulkiyo. Belum lagi batin Pangeran
Diponegoro sembuh di akhir tahun 1829, satu persatu Senopati daerah menyusul
jejak Senopati Sentot dan Pangeran Mangkubumi, antara lain, Pangeran Ario
Suriokusumo, Kerto Pengalasan, pahlawan medan tempur Pleret, dan Pangeran
Joyosudirjo
Rupanyan Pangeran Diponegoro tak
bergeming, meski hatinya tertekan, ia tetap melanjutkan perjuangannya dan tetap
menaruh kepercayaan atas kesetiaan rakyat Bagelan, Banyumas, dan Kedu. Usaha
Jenderal De Kock untuk mempercepat peperangan rupanya tidak berhasil. Meski
jauh sebelumnya Jenderal ini sudah menjanjikan 20.000 ringgit kepada siapa saja
yang sanggup menagkap hidup atau mati Pangeran Diponegoro. Segenap rakyat dan
laskar-laskar Pangeran Diponegoro tidak mau mengkhianati pemimpin yang agung
ini.
Tapi, Jenderal De Kock tidak putus
asa, melalui Kolonel Cleerrens, akhirnya bisa membujuk putra Pangeran
Diponegoro, yaitu Pangeran Dipokusumu, untuk menyerah. Penyerahan putra
kesayangannya itu benar-benar membuat Pangeran Diponegoro terluka. Maka pada
bulan Februari 1830, ketika Kolonel Cleerens menawarkan jalan perundingan,
terpaksa Pangeran Diponegoro menerimanya dengan berat hati. Dua musuh bebuyutan
inipun bertemu di Remo Kamal, Bagelan, Purworejo, pada tanggal 16 Februari
1830. Cleerens kemudian mengusulkan agar kanjeng Pangeran dan pengikutnya
berdiam dulu di kaki bukit Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur
Jenderal markus De Kock dari Batavia.
Dengan janji tidak dikhianati,
Pangeran Diponegoro bersedia mengadakan perundingan. Pada bulan Maret 1830, ia
dengan pasukannya tiba di tempat perundingan, dirumah Residen Magelang. Bersama
Kolonel Cleerens, Pangeran Diponegoro menuju ruang kerja Jenderal De Kock.
Beberapa putra Diponegoro dan perwira Belanda ikut menyaksikan jalannya
perundingan tingkat tinggi tersebut.
Sekitar dua jam sudah perundingan
berlangsung, tapi belum membuahkan hasil. Berkali-kali Jenderal De Kock mencoba
membujuk agara Pangeran Diponegoro mengurangi tuntutannya. Tapi Pangeran
Diponegoro tetap teguh pada pendiriannya. Mendirikan sebuah Negara merdeka yang
bersendikan agama Islam. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, apabila
perundingan menemui jalan buntu, Pangeran Diponegoro boleh meninggalkan ruangan
itu dengan bebas. Tapi kenyataannya, Jenderal De Kock curang, “Tangkap tangkap
Diponegoro dan semua pengikutnya”, teriak De Kock kepada pasukannya sambil
menodongkan pistol kearah Pangeran Diponegoro. Sejurus kemudian, Pangeran
Diponegoro beserta para pengikutnya ditangkap dan dijebloskan dalam sebuah
penjara yang amat pengap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar